De omnibus dubitandum! Segala sesuatu harus diragukan desak Rene Descartes. Namun segala yang ada dalam hidup ini dimulai dengan meragukan sesuatu. sementara kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu.
Baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan ini membawa kita kepada sebuah pernyataan yakni "Bagaimanakah caranya kita mendapatkan pengetahuan yang benar itu?" Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum Rasionalis mengembangkan apa yang sekarang sering disebut dengan Rasionalisme, sedangkan kaum empiris menamai diri mereka dengan Empirisme.
Kaum Rasionalis seringkali mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya, seringkali disebut dengan Idealisme. Fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berfikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip dan justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasional itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam di sekitar kita. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan pra pengalaman yang didapatkan oleh manusia melalui penalaran yang rasional. Masalah utama yang timbul adalah mengenai kriteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang adalah jelas, terpercaya dan benar. Dalam hal ini maka pemikiran rasional lebih cenderung untuk bersifat solipsistik dan subyektif.
Sebaliknya kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak namun melalui pengalaman yang konkrit. Gejala-gejala alamiah menurut kaum empiris adalah bersifat konkrit dan dapat dinyatakan lewat tangkapan panca indra manusia. Gejala tersebut setelah kita telaah lebih lanjut mempunyai beberapa karakteristik tertentu yang terbentuk seperti pola-pola. Sebagai contoh: Suatu benda padat kalau dipanaskan akan memanjang, Langit mendung diikuti dengan turunnya hujan, dan seterusnya. Masalah yang utama dalam penyusunan pengetahuan secara Empiris adalah bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung merupakan kumpulan fakta-fakta. Kumpulan-kumpulan tersebut tentu saja belum bersifat konsisten (kalau kita menyatakan pengetahuan yang benar adalah yang konsisten). Haruslah terdapat suatu kerangka pemikiran yang memberi latar belakang mengapa X mempunyai hubungan dengan Y, sebab kalau tidak maka pada hakikatnya semua fakta dalam dunia fisik bisa saja dihubungkan dalam kaitan kausalitas. Masalah yang kedua adalah hakikat pengalaman itu sendiri. Pertanyaannya adalah apakah yang sebenarnya dinamakan pengalaman?Apakah hal ini merupakan stimulus panca indra? sensasi atau persepsi? seberapa jauh kita bisa menggunakannya? Kalau kaum empiris menggunakan panca indra untuk membentuk asumsi pengetahuannya bukankan kita tahu bahwa panca indra manusia begitu terbatas kemampuannya?

Masih membaca bukunya Bang Jujun Suriasumantri.

Leave a Reply